Paramita Denok (1994) Makam Sayyid Sulaiman di Desa Mancilan Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang: studi kultural tentang penziarahan terhadap makam Sayyid Sulaiman. Undergraduate thesis, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Paskua, Herlina (2020) Pengabdian Khadijah binti Khuwailid kepada Nabi saat turunnya Wahyu Pertama.
SejarahIslam jazirah Arab sebelum kedatangan Islam merupakan sebuah kawasan yang sangat mundur. Kebanyakkan orang Arab merupakan penyembah berhala dan yang lain merupakan pengikut agama Kristen dan Yahudi. Mekah ketika itu merupakan tempat suci bagi bangsa Arab. karena di tempat tersebut terdapat berhala-berhala agama mereka dan juga terdapat Sumur Zamzam dan yang paling penting adalah Ka'bah.
WahaiKhadijah, ALLAH menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga. Ummul mukminin, Siti Khadijah pun kemudian menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuan Rasulullah. Didekapnya istri Beliau itu dengan perasaan pilu yang teramat sangat. Tumpahlah air mata mulia Beliau dan semua orang yang ada disitu.
Islamdi Bali Denpasar Sejarah Islam diIndonesia tidak lepas dari kerajaan - kerajaan yang ada dijawa, dan tidak terlepas pula dari kewalian yang telam menyebarkan islam diIndonesia. Tabanan, suatu tempat pada zaman itu masih daerah kerajaan Mengwi Makam beliau saat menjadi ziarah kaum muslim baik dari Bali maupun dari Luar Bali (Jawa
Sejarahmasuknya Islam di Papua tak lepas dari peran Kerajaan Tidore.
Upayauntuk mencari celah peraturan BPJS tersebut, dengan cara para dokter itu bisa bekerja di RS Siti Khadijah di luar jam praktik mereka, juga tak membawa hasil. Kini, demi memenuhi syarat adanya dokter tetap, rumah sakit ini sudah "menarik" seorang dokter ahli jantung dari daerah tetangga, Jambi yang bersedia menjadi dokter tetap di sana.
Padamasa lalu, makam Ma'la seperti makam-makam lain di seluruh dunia. Ada nisan bertuliskan nama. Dahulu, makam Siti Khadijah dinaungi sebuah kubah besar sehingga lebih mudah dikenal. Namun, pada tahun 1925, semua penanda dan nisan dihancurkan ketika keluarga Al Saud berkuasa.
Parapejuang dalam korban revolusi fisik tentunya tidak semua dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan. Mereka yang gugur sebagian besar dimakamkan pada T
KFRX. Unknown 12 Comments Keberadaan Situs Makam Wali Pitu di Bali dan pariwisata sangat erat sekali karena Pulau Bali sudah terkenal sebagai daerah tujuan pariwisata. Sejak zaman dahulu arus wisatawan terus berdatangan ke Pulau Bali baik wisatawan domestik maupun mancanegara, sebagian juga pasti terdapat wisatawan muslim. Dibawah ini saya akan paparkan 7 makam Wali Negara & Datuk Lebai-Melayu, Habib Ali Bin Umar Bafaqih KH. Habib Ali Bafaqih wafat pada tahun 1997 pada usia 107 tahun. Karena perjuangan dan kegigihanya untuk menyebarkan atau mensyiarkan agama Islam dan juga ketinggian ilmunya maka beliau dianggap sebagai salah satu “Wali Pitu” yang ada di Bali. Karangrupit, The Kwan Lie, Syech Abdul Qodir Muhammad Makam yang terkenal dengan sebutan Keramat Karang Rupit ini milik seorang muslim asal Cina bernama asli The Kwan Pao-Lie, disingkat The Kwan Lie, yang bergelar Syekh Abdul Qadir Muhammad. Bukit Bedugul, Syeh Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi Pada tahun 1963 M waktu Gunung Agung meletus yang mana mengeluarkan lahar panas menyemburkan batu-batu besar dan kecil serta abu ke atas menjulang tinggi di angkasa memporak-porandakan Bali hingga sampai ke wilayah Jawa Timur. Namun anehnya kuno milik Syeikh Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi tetap tak berubah walaupun hanya berasal dari tumpukan batu merah yang tidak diperkuat dengan adanya semen bahkan tidak ada sebutir pasir yang menyentuh makam tersebut. Kembar Karangasem, Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al-Idrus dan Syeh Maulana Yusuf Al-Baghdi Di dalam satu cungkup makam kembar tersebut terdapat makam tua/kuno berjajar dengan makam Ali bin Zainal Abidin al-Idrus. Menurut masyarakat, makam kuno inilah yang dikeramatkan sejak zaman dahulu. Makam ini diperkirakan berusia 350—400 tahun. Adapun mengenai nama, sejarah, dan dari mana asalnya, tidak satu pun yang tahu, bahkan juru kuncinya pun tidak tahu. Sebagian kalangan menyebutkna bahwa makam ini adalah makam dari Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi. Kusamba, Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar Al-Khamid Sewaktu hidupnya, Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid menjadi guru bahasa Melayu Raja Klungkung saat itu, Dalem I Dewa Agung Jambe. Waktu itu, beliau diberi seekor kuda untuk kendaraan pulang pergi antara Kusamba dan Klungkung. Seseh Mengwi, Pangeran Mas Sepuh, Syeh Achmad Chamdun Choirussoleh Raden Amangkurat atau Raden Mas Sepuh/Pangeran Mas Sepuh dengan gelar Syeikh Achmad Chamdiun Choirussaleh putra Raja Mengwi ke VII Cokorda I, ibunya dari Blambangan wilayah Banyuwangi, Jawa Timur. Pangeran Mas Sepuh masa kecil dalam asuhan ibunya dalam lingkungan Islam. Setelah dewasa ingin berbakti pada ayahnya tapi untuk menjalankan niatnya banyak ujian tapi tetap diterima dengan sabar hati dan tidak mudah dendam selalu memaafkan pada orang-orang yang menghambat perjalanannya. Pangeran Sosrodiningrat, dan Makam Ratu Ayu Anak Agung Rai, Dewi Khodijah, Pemecutan Makam keramat Pangeran Sosrodiningrat, menurut cerita versi ke-1 merupakan makam milik Pangeran Sosrodiningrat, suami Raden Ayu Siti Khotijah. Dia menikai Siti Khodijah karena telah berjasa membantu ayahandanya, Raja I Gusti Ngurah Gede Pamecutan, ketika berperang melawan Kerajaan Mengwi dan mendapat kemenangan.
Setelah memeluk agama Islam, Raden Ayu Siti Khotijah rajin menunaikan kewajiban agama. Sholat lima waktu tak pernah ditinggalkannya. Dream - Raja Pemecutan Denpasar memiliki seorang putri cantik yang amat disayangnya. Putri Raja Pemecutan bernama Gusti Ayu Made Rai. Raja Pemecutan begitu menyayanginya. Kecantikannya tersohor se-Bali. Sehingga tak sedikit pangeran dari kerajaan lain yang ingin mempersunting Gusti Ayu Made Rai. Saat beranjak remaja, musibah menimpa Gusti Ayu Made Rai. Ia terkena penyakit kuning liver. Bertahun-tahun penyakit itu tak dapat disembuhkan meski sejumlah Balian dukun telah dipanggil untuk mengobati putri kesayangan raja. Pada suatu saat, ayah Gusti Ayu Made Rai melakukan tapa semedi untuk meminta petunjuk Tuhan Yang Maha Esa untuk kesembuhan putrinya. " Ayah Gusti Ayu Made Rai mendapat pawisik bisikan dari Yang Maha Kuasa agar beliau memerintahkan seluruh patih kerajaan untuk mempersiapkan pengumuman sayembara," kata Jro Mangku I Made Puger, juru kunci makam Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah saat ditemui Senin 6 Juni 2016. © Dream Pengumuman sayembara itu dilakukan tak hanya di Bali, tetapi juga bagi kerajaan lain di luar Bali. Ada dua titah raja pada sayembara tersebut. Pertama, barang siapa yang dapat mengobati dan menyembuhkan penyakit anaknya, kalau dia perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kedua, kalau dia laki-laki, jika memang jodohnya akan dinikahkan. " Sabda sayembara Raja Pemecutan didengar oleh ulama dari Yogyakarta. Ulama ini memiliki ilmu kebatinan tinggi dan memiliki anak didik kesayangan dari Bangkalan, Madura bernama Pangeran Cakraningrat IV," tutur Jro Mangku. Ulama dari Yogyakarta itu memanggil Pangeran Cakraningrat IV untuk datang ke Yogyakarta. Setelah menghadap, sang ulama memerintahkan agar Pangeran Cakraningrat IV pergi ke tanah Bali untuk menemui Raja Pemecutan Badung. Singkat cerita, Pangeran Cakraningrat IV berangkat ke Bali ditemani oleh 40 orang prajurit. Sesampainya di Kerajaan Pemecutan, Pangeran Cakraningrat IV langsung menemui Raja Pemecutan dan mengutarakan maksud untuk mengobati tuan putri yang tengah sakit keras. © Dream " Pada saat pertemuan pertama dan bertatap mata antara Pangeran Cakraningkrat IV dan Gusti Ayu Made Rai, beliau berdua sudah jatuh cinta," ucap Jro Mangku. Selanjutnya, Pangeran Cakraningkrat IV membacakan mantra untuk menyembuhkan penyakit tuan putri. Pangeran Cakraningrat IV berhasil menyembuhkan putri kesayangan raja. Sesuai janji raja, keduanya pun dinikahkan. Bukan karena janji semata, pernikahan itu memang dilandasi cinta oleh Pangeran Caraningkrat IV dan Gusti Ayu Made Rai. Beberapa saat setelah menikah, Pangeran Cakraningrat IV mohon pamit kembali ke Bangkalan, Madura. Gusti Ayu Made Rai yang telah sah menjadi istrinya diajak ikut serta. Di Bangkalan, Madura, kedua mempelai diupacarai secara Islami. Gusti Ayu Made Rai menjadi muallaf pemeluk agama Islam. Nama beliau diubah menjadi Raden Ayu Siti Khotijah alias Raden Ayu Pemecutan. Setelah memeluk agama Islam, Raden Ayu Siti Khotijah rajin menunaikan kewajiban agama. Sholat lima waktu tak pernah ditinggalkan oleh istri keempat Pangeran Cakraningrat IV itu. Suatu hari, Raden Ayu Siti Khotijah meminta izin kepada suaminya, Pangeran Cakraningrat IV untuk pulang sebentar ke kampung halamannya di Bali. " Beliau rindu dengan ayah, ibu dan keluarga besar Kerajaan Pemecutan. Pangeran Cakraningrat IV mengizinkan beliau pulang ke Bali. Beliau memerintahkan pengawal dan dayang-dayang sebanyak 40 orang untuk mengawal Raden Ayu Siti Khotijah," kata Jro Mangku. Sebelum pergi ke Bali, Pangeran Cakraningrat IV memberikan bekal kepada istrinya berupa guci, keris dan pusaka yang diselipkan di rambut Raden Ayu Siti Khotijah. Dalam perjalanan Raden Ayu Siti Khotijah dari tanah Bangkalan menuju Bali, keluarga besar Kerajaan Pemecutan tengah mempersiapkan upacara Maligia. Sesampainya di Kerajaan Pemecutan, Raden Ayu Siti Khotijah dan rombongan disambut baik oleh keluarga besarnya. Saat Maghrib tiba, Raden Ayu Siti Khotijah menunaikan sholat di Merajan Istana, tempat suci bagi umat Hindu. Seperti biasa, Raden Ayu Siti Khotijah mengenakan mukena putih dan menghadap ke arah barat. Patih kerajaan melihat Raden Ayu Siti Khotijah tengah menunaikan kewajibannya sebagai umat Muslim. Patih kerajaan menganggap aneh cara sembahyang Raden Ayu Siti Khotijah. Sebaliknya, patih menduga Raden Ayu Siti Khotijah tengah mengeluarkan mantra ilmu hitam leak. Sontak ia melaporkan hal tersebut kepada Raja Pemecutan yang tak lain ayah Raden Ayu Siti Khotijah. Raja sangat marah mendapat laporan patih. Raja memerintahkan agar Raden Ayu Siti Khotijah dibunuh. © Dream Patih mengajak Raden Ayu Siti Khotijah ke depan Pura Kepuh Kembar. Raden Ayu Siti Khotijah mengaku telah memiliki firasat jika ia akan dibunuh. Maka, ia pun meninggalkan pesan kepada patih sebelum mengembuskan napas terakhir. " Janganlah saya dibunuh dengan memakai senjata tajam karena itu tidak akan dapat membunuh saya. Pakailah cucuk konde saya ini yang telah disatukan dengan daun sirih dan diikat benang Tridatu benang tiga warna; putih, hitam dan merah," kata Jro Mangku. " Nanti lemparlah cucuk konde ini ke arah dada saya sebelah kiri. Apabila saya sudah meninggal, dari badan saya akan keluar asap. Bila asap yang keluar dari badan saya berbau busuk, silahkan paman patih tanam mayat saya sembarangan. Tapi, jika asap dari badan saya berbau harum, tolong buatkan saya tempat suci yang disebut keramat," pesan Raden Ayu Siti Khotijah. Benar saja, begitu cucuk konde ditancapkan, dari tubuh Raden Ayu Siti Khotijah mengeluarkan asap dan aroma harum. " Kejadian ini dilaporkan kepada raja. Raja sangat menyesal atas keputusannya," tuturnya. Saat itu, begitu jasad Raden Ayu Siti Khotijah dikebumikan, tumbuhlah sebatang pohon setinggi 50 sentimeter di tengah makam beliau. Dicabuti sampai tiga kali pohon itu tumbuh kembali. " Kakek dan nenek saya yang saat itu ditugaskan menjadi juru kunci akhirnya bersemedi. Raden Ayu Siti Khotijah berpesan agar pohon yang tumbuh di tengah makam dipelihara dengan baik karena pohon ini tumbuh dari rambut beliau. Melalui pohon ini Allah SWT memberi mukjizat dan rezeki kepada umat yang berziarah," katanya. Hingga kini, pohon tersebut terus menjulang tinggi dan diberi nama pohon rambut atau taru rambut. Tiap harinya, selalu ramai umat Islam berkunjung ke makam Raden Ayu Siti Khotijah. Apalagi menjelang Ramadan seperti saat ini, sudah barang tentu ramai peziarah. Laporan Berry Putra, Bali Baca Juga Jalur Kereta Api Ini Menyimpan Kisah Pilu Muslim Desak Hagia Sophia Dibuka untuk Sholat Ramadan Unik di Saudi, dari Meriam hingga THR Gratis Lezatnya Menu Berbuka Puasa Khas dari Berbagai Negara Traveling Saat Ramadan? Wajib Perhatikan Hal Ini
Jika Anda berkunjung ke Kota Denpasar, Bali. Tepatnya di kawasan sekitar Jalan Gunung Batukaru, Pemecutan, Kec. Denpasar Barat Kota Denpasar, tentu Anda akan menemukan Situs berupa relik Islam yang cukup bersejarah. Yaitu Makam Keramat Agung Raden Ayu Siti Hadijah Pemecutan. Makam ini di samping sebagai salah satu situs Islam yang cukup terkenal di Bali namun juga merupakan bagian dari benda pusaka warisan Puri/Keraton Pemecutan Badung. Raden Ayu Siti Hadijah Pemecutan yang bernama asli Gusti Ayu Made Rai sebelum memeluk agama Islam adalah seorang wanita mu’allafah yang sangat taat beragama. Beliau mendapatkan pelajaran agama Islam langsung dari Sang Suami yang sangat dicintainya. Yaitu Raja Bangkalan Madura Cakraningrat IV. Dari sinilah beliau sempat mendapatkan anugerah kekeramatan dari Allah SWT. meskipun beliau selaku Putri Raja Bali yang berdarah biru ini, belum sempat mendapatkan keturunan dari suaminya Raja Madura itu. Karena ditakdirkan tutup usia di masa masih belum berapa lama hidup bersama suaminya di Keraton Bangkalan Madura. Raden Ayu Siti Hadijah adalah putri Raja Pemecutan Denpasar Bali sebagai Istri/Permaisuri keempat Raja Bangkalan Madura Cakraningrat IV di samping ada tiga istrinya yang hidup di Kraton Bangkalan Madura. Ada beberapa versi penulisan tentang sejarah dipersuntingnya Putri Raja Pemecutan Gusti Ayu Made Rai oleh Pangeran Cakraningrat IV Bangkalan Madura sebelum menjadi raja. Ada yang menulis peristiwa itu berhubungan dengan peperangan antara Puri Pemecutan dengan Puri Mengwi yang berhasil dimenangkan oleh Puri Pemecutan atas Jasa Pangeran Cakraningrat IV. Ada juga yang menulis bahwa hal itu berhubungan dengan sayembara yang diadakan oleh Raja Pemecutan. Saat itu dimenangkan oleh pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura yang berhasil menyembuhkan penyakit kuning hepatitis yang diderita oleh Putri Raja Pemecutan itu. Menurut Jro Mangku Made Puger juru kunci Makam keramat Agung Pemecutan bahwa perkawinan antara Raden Ayu Siti Hadijah dengan Pangeran Cakraningrat IV itu memang berhubungan erat dengan Sayembara yang diadakan oleh Raja Pemecutan III yang bernama Kiai Arya Ngurah Pemecutan yang bergelar Ida Bhatara Maharaja Sakti. Kisah itu bermula dari keberadaan putri raja Pemecutan ini yang sangat cantik dan mempesona tersohor di beberapa Puri/Keraton di Bali dan menjadi perbincangan hangat di kalangan para pangeran. Tidak sedikit para pangeran dari kerajaan lain di Bali maupun di luar Bali yang mengincar untuk mempersunting putri raja Pemecutan ini karena kecantikannya dan merupakan putri Raja yang sangat disayanginya. Namun Sang Putri ini tanpa diduga sebelumnya ternyata terkena dan mengidap penyakit kuning hepatitis yang sulit disembuhkan. Bertahun-tahun penyakit itu diderita oleh Sang Putri Pemecutan namun tak dapat disembuhkan meski sejumlah Balian dukun telah dipanggil untuk mengobati putri kesayangan raja. Pada suatu saat, ayahnya yakni Sang Raja yang langsung melakukan tapa semedi sendiri untuk meminta petunjuk kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka kesembuhan putrinya. Ternyata dalam tapa itu Sang Raja mendapat pawisik bisikan dari Yang Maha Kuasa agar beliau memerintahkan seluruh patih kerajaan untuk mempersiapkan pengumuman sayembara. Pengumuman sayembara itu dilakukan tak hanya di Bali, tetapi juga bagi kerajaan lain di luar Bali. Ada dua titah raja pada sayembara tersebut. Pertama, barang siapa yang dapat mengobati dan menyembuhkan penyakit anaknya, kalau dia perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kedua, kalau dia laki-laki, jika memang jodohnya mau mengawininya akan dinikahkan dengan putrinya itu siapapun orangnya. Ternyata Sayembara itu terdengar sampai di kerajaan Mataram Yogyakarta sehingga salah seorang Guru spritual di keraton itu tertarik dengan sayembara itu lalu kemudian Sang Guru ini ingat dengan muridnya yakni seorang Pangeran yang berasal dari Bangkalan Madura. Dialah Cakraningrat IV yang memang diakuinya sebagai muridnya yang cukup memiliki ilmu tentang pengobatan di samping ilmu kanuragan yang tinggi. Saat itu juga muridnya ini dipanggil menghadap ke keraton Yogyakarta lalu sang guru memerintahkan berangkat ke Bali untuk mengikuti sayembara itu. Dengan dikawal sebanyak 40 orang pengawal dari keraton Yogyakarta, Pangeran dari Madura Cakraningrat IV ini berangkat berlayar menuju Pulau Bali hingga akhirnya sampai di Puri Pemecutan Denpasar. Pangeran Cakraningrat IV langsung menemui Raja Pemecutan dan mengutarakan maksud kedatangannya sesuai dengan isi sayembara yang dia dengar dari gurunya untuk mengobati penyakit tuan putri yang tengah sakit keras. Tidak berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam peraktek pengobatan yang dilakukan oleh Pangeran Cakraningrat IV terhadap Tuan Putri dengan izin Allah SWT. hingga akhirnya Tuan Putri sembuh total dari penyakit yang dideritanya sejak bertahun tahun lamanya. Di saat itulah Pangeran Cakraningrat IV terpesona dengan kecantikan putri kesayangan Raja Pemecutan ini hingga akhirnya Sang Putri dipersunting oleh Pangeran Cakraningrat IV dan sekaligus dibawa ke Madura dan tinggal di Keraton Bangkalan. Suatu hari, Raden Ayu Siti Khodijah meminta izin kepada suaminya, Pangeran Cakraningrat IV untuk pulang sebentar ke kampung halamannya di Bali. Beliau sangat rindu dengan ayah, ibu dan keluarga besarnya di Kerajaan Pemecutan. Pangeran Cakraningrat IV mengizinkan istri kesayangannya itu untuk berkunjung pulang ke kediaman orang tuanya di Bali. Beliau memerintahkan pengawal dan dayang-dayang keraton sebanyak 40 orang untuk mengawal Raden Ayu Siti Khodijah menuju Pulau Bali. Sebelum berangkat ke Bali, Pangeran Cakraningrat IV memberikan bekal kepada istrinya berupa benda pusaka antara lain, guci, keris dan pusaka cucuk konde yang diselipkan di rambut Raden Ayu Siti Khodijah. Dalam perjalanan Raden Ayu Siti Khodijah dari tanah Bangkalan menuju Bali yang berlangsung dalam beberapa hari. Sementara itu keluarga besar Kerajaan Pemecutan tengah mempersiapkan upacara Maligia. Sesampainya di Kerajaan/Puri Pemecutan, Raden Ayu Siti Khodijah dan rombongan disambut baik oleh keluarga besarnya di Kerajaan Pemecutan dan mereka saling melepas kerinduan. Beberapa hari berselang rombongan dari Madura Kerajaan Bangkalan ini berada di Keraton, suatu saat pada waktu Maghrib tiba, Raden Ayu Siti Khotijah sebagai seorang muslimah yang sholehah tentu bersegera untuk menunaikan sholat Maghrib di Merajan Istana, tempat suci bagi umat Hindu. Karena tidak ada tempat lain yang layak untuk ditempati bersembahyang Sholat. Seperti biasa, Raden Ayu Siti Khodijah waktu itu sedang mengenakan mukena putih dan menghadap ke arah Barat kiblat. Hal ini belum pernah terjadi di lingkungan kerajaan/puri hal seperti itu yang membuat kecurigaan keluarga kerajaan/ puri Pemecutan. Para patih kerajaan melihat Raden Ayu Siti Khotijah yang tengah menunaikan kewajibannya sebagai umat Muslim maka Patih kerajaan menganggap aneh cara sembahyang Raden Ayu Siti Khotijah. Sebaliknya, patih menduga Raden Ayu Siti Khodijah tengah mengeluarkan mantra ilmu hitam leak. Sontak ia melaporkan hal tersebut kepada Raja Pemecutan yang tak lain ayah Raden Ayu Siti Khotijah. Raja sangat marah mendapat laporan patihnya. Kemudian Raja memerintahkan agar Raden Ayu Siti Khodijah dibunuh saja karena sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa diampuni. Oleh karena Raja salah paham menganggap bahwa putrinya itu telah membawa aib bagi keluarga Kerajaan sehingga Sang Raja harus menanggung malu yang sangat berat. Peristiwa ini terjadi akibat kesalahpahaman sang raja saja. Patih kerajaan akhirnya mengajak Raden Ayu Siti Khodijah ke depan Pura Kepuh Kembar. Raden Ayu Siti Khodijah sebelumnya mengaku telah memiliki firasat jika ia akan dibunuh. Maka, ia pun meninggalkan beberapa pesan kepada patih sebelum dihukum mati dan mengembuskan nafas terakhirnya. “Janganlah saya dibunuh dengan memakai senjata tajam karena itu tidak akan dapat membunuh saya. Pakailah cucuk konde saya ini yang telah disatukan dengan daun sirih dan diikat benang Tridatu benang tiga warna; putih, hitam dan merah. “Nanti lemparlah cucuk konde ini ke arah dada saya sebelah kiri. Apabila saya sudah meninggal, dari badan saya akan keluar asap. Bila asap yang keluar dari badan saya berbau busuk, silahkan paman patih tanam mayat saya sembarangan. Tapi, jika asap dari badan saya berbau harum, tolong buatkan saya tempat suci yang disebut keramat,” pesan Raden Ayu Siti Khodijah. Benar saja, begitu cucuk konde ditancapkan ke tubuhnya, saat itu keadaan Raden Ayu Siti Khodijah serta merta mengucur darah segar dari tubuhnya karena tusukan itu menghujam di tubuhnya dan tiba tiba jasadnya mengeluarkan asap dan aroma harum. Kejadian aneh ini lalu dilaporkan kepada raja. Namun apa yang terjadi ternyata Sang Raja sangat menyesali atas keputusannya itu, bahwa Putri kesayangannya yang telah tiada itu ternyata adalah seorang suci dan memiliki kekeramatan dari Tuhan. Petaka ini terjadi akibat kesalahpahaman sang Raja ayahandanya yang pada akhirnya mengundang penyesalan seumur hidupnya akibat titah itu. Meskipun sebelum wafat, Raden Ayu Siti Khodijah sendiri sempat berusaha membantah tuduhan tersebut. Akan tetapi alasan itu tidak ada satu pun pihak di lingkungan puri yang menyokongnya agar terbebas dari hukuman mati. Tapi apa mau dikata nasi sudah jadi bubur. Bahkan, terakhir dia juga sempat berwasiat jika nanti jenazahnya berbau harum maka minta dimakamkan layaknya orang Muslim dan berarti tidak bersalah. Namun jika jenazahnya tidak berbau busuk, maka silakan dibakar diaben. Saat itu, begitu jasad Raden Ayu Siti Khodijah dikebumikan, tiba tiba muncul dan tumbuh dengan sendirinya sebatang pohon setinggi kira-kira 50 sentimeter di atas bagian tengah makam beliau. Setiap kali dicabuti tetap saja tumbuh lagi sampai tiga kali pohon itu dicabuti tumbuh kembali. Akhirnya dibiarkan saja tumbuh. Pohon itu sampai hari ini masih tetap tumbuh meskipun telah hidup berabad abad lamanya semacam pohon abadi sebagai bukti kekeramatan putri Raja Pemecutan yang beragama Islam itu. Konon, pohon itu dipercayai tumbuh dari rambut jasad Almarhumah Raden Ayu Siti Khodijah hingga akhirnya dinamai pohon rambut atau taru rambut. Adapun Cakraningrat IV sendiri kini dimakamkan di Pemakaman Aer Mata Air Mata Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Sebelumnya jenazah Cakraningrat IV dimakamkan di Tanjung Harapan, Afsel, pada tahum 1745. Oleh karena Raja Cakraningrat IV ini pernah dibuang oleh penjajah Belanda ke Afrika Selatan karena keberaniannya melawan dan menentang penjajah Belanda dan meninggal di sana. Sedangkan pengawal dan dayang dayang sebanyak 40 orang yang mengawal Raden Ayu Siti Khodijah dari Madura ke Bali yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang sedang dirundung kesedihan dengan wafatnya tuan permaisuri. Oleh karena kasetiaan mereka kepada Permaisuri Rajanya yang telah meninggalkan mereka untuk selamanya dari peristiwa berdarah di Puri Pemecutan itu, terpaksa mereka tinggal di Bali dan tidak pernah kembali lagi ke Madura dan kemudian dihadiahi oleh Raja Pemecutan tempat tinggal suatu perkampungan pelungguhan untuk tinggal di situ yang kemudian sekarang dikenal dengan nama Kampung Muslim Kepaon Denpasar berjarak sekitar kilometer sebelah tenggara dari makam Keramat Agung Raden Ayu Siti Hadijah Pemecutan sebagai kampung komunitas Madura, Jawa dan Bugis di kota Denpasar sampai saat ini. Wallahu a’lam bi shawab. Oleh Drs. H. Bagenda Ali, Buku “Awal Mula Islam di Bali”